Powered By Blogger

Rabu, 20 April 2011

R.A Kartini Pahlawan Emansipasi Wanita?

Patutkah R.A Kartini di Jadikan Pahlawan Emansipasi Wanita Indonesia..??
Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan, Mengapa Harus R.A Kartini?
tanggal 21 April 2011 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikelini.
Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan? dan diteladani dibandingkan Kartini?
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”.  Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih R.A Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University. Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia.
Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini  berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP).  Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai  perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan  Etika” C.Th. van Deventer adalah  orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun,  pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat R.A Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul ” Habis Gelap Terbitlah Terang “: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama R.A Kartiniserta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas R.A Kartini sendiri, dalam masa kehidupan R.A Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat harusnya dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Dan bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita lain lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan). Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh,  kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu?  Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis: ”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya.
Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut:
”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam,
tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”.  Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.”
Berikut Pahlawan pahlawan wanita lain Indonesia yang lebih baik dalam tindakannya disbanding R.A Kartini.
Dewi Sartika (1884-1947) Jawa barat
Wanita ini berhasil mendirikan sekolah yang dinamakan Sakolah Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.
Rohana Kudus (1884-1972) padang
Wanita ini melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana
School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini. Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan)
Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan 
Wanita ini dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat.
Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda  untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Siti Aisyah We Tenriolle. 
Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Catatan :
Sekali lagi ini sekedar wacana bukan pembentukan opini, real sejarah harus ditegakkan, diluruskan dan dibenarkan, siapa yang berjuang dengan hati jiwa dan raga adalah pahlawan buat negeri ini.
Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu.

Mengapa Namanya Kartini???? (bukan sukarsih)

Tanggal 21 April kemarin Indonesia kembali memperingati lahirnya seorang sosok wanita yang katanya merupakan tokoh wanita pelepas wanita-wanita pada masanya dari keterkungkungan, keterbelakangan, yang hanya tahu sumur, kasur dan dapur saja. Ya, Kartini, sosok wanita yang menjadi sumber inspirasi bagi para wanita untuk mendapatkan kesamaan derajat dan kedudukan dengan kaum pria, bebas mengekspresikan dirinya, bebas memperoleh pendidikan tinggi tanpa batas, bebas sebebas yang dilakukan laki-laki. Namun tahukah kita fakta yang sesungguhnya tentang penonjolan Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia? Mungkin sangat sedikit yang mengetahuinya. Mengapa harus Kartini? Apakah tidak ada wanita lain yang lebih kokoh, tangguh, tegar dan luar biasa. Ada Cut Nyak Dien dari Aceh, ada Rohana Kudus dari Minang dan masih banyak wanita luar biasa lainnya.
Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?” Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
 Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita. Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia. Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini. Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.” Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.  

HUBUNGAN ANTAR SIKLUS


Dalam suatu perusahaan manufaktur kas digunakan untuk memperoleh bahan baku, aktiva tetap, dan barang-barang serta jasa yang diperlukan untuk memproduksi persediaan (siklus perolehan dan pembayaran). Kas juga digunakan unutk memperoleh tenaga kerja bagi keperluan yang sama.  Siklus-siklus transaksi sangant penting sekali dalam pelaksanaan audit. Umumnya auditor memperlakukan setiap siklus secara terpiesah dalam pelaksanaan audit. Meskipun siklus yang berbeda itu perlu dikaitkan dalam waktu yang berlainan. Auditor haris memperlakukan siklus-siklus itu secara terpisah agar dia dapt menangani audit yang kompleks secara efektif.
MENETAPKAN TUJUAN AUDIT
            Auditor melakukan audit sesuai degan pendekatan siklus dengan melaksanakan pengujian audit ats transaksi yang membentuk saldo akhir dan juga melaksanakanpengujian audit atas saldo akun itu sendiri. Akan tetapi tidak praktis bagi auditor mendapatkan keyakinan menyeluruh atas kebenaran setiap jenis transaksi sebagi akibat kurangnya akibat keyakinan atas kebenaran saldo piutang usaha. Dalam hal ini, keyakinan menyeluruh dapat ditingkatkan dengan mengaudit rincian saldo akhir piutang usaha. Biasanya auditor menemukan bahwa, cara yang paling efisiaen unutk melakukan audit adalah mendapatkan keyakinan gabungan untuk setiap golongan transaksi dan saldo akhir dari akun terakhir. Terdapat beberapa tujuan audit yang harus dipenuhi untuk setiap saldo akun. Tujuan audit ini dinamakan tujuan auditberkait-saldo. Asersi menejemen adalah pernyataan yang tersirat  atau yang dinyatakan dengan jelas oleh manajemen mengenai jenis transaksi dan akun terkait dalam laporan keuangan. Asersi manajemen berhubungan langsung dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Pernyataan ini merupakan bagian dari kriteria manajemen unutuk mencatat dan mengungkapkan informasi akuntansi dalam laporan keuangan.
            PSA 07 (SA 326) menggolongakan lima kategoti pernyataan yang luas
1.      Asersi mengenai keberadaan atau keterjadian, ini berkaitan dengan apakah aktiva kewajiban dan ekuitas yang tercantum dalam neraca benar-benar ada pada tanggal neraca serta apakah pendapatan dan beban yang tercantum dalam laporan laba rugi benar-benar terjadi selama periode akuntansi.
2.      Asersi mengenai kelengkapan, ini menyatakan bahwa semua transaksi dan akun yang seharusnya ada dalam laporan keuangan semuanya memang dimasukkan.
3.      Asersi mengenai hak dan kewajiban, ini berhubungan dengan apakah aktiva memang menjadi hak perusahaan dan hutang menjadi kewajiban perusahaan pada tanggal tertentu.
4.      Asersi mengenai penilaian dan alokasi, ini menyangkut masalah apakah aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan atau beban telah dimasukkan kedalam laoran keuangan dengan angka-angka yang wajar.
5.      Asersi mengenai penyajian dan pengungkapan, ini menyangkut masalah apakah komponen-komponen dalam laporan keuangan diklasifikasikan, dijelaskan dan diungkapkan dengan sepantasnya.


TUJUAN AUDIT UMUM BERKAIT TRANSAKSI
            Tujuan audit berkait-transaksi dari auditor adalah sejalan dan berkaitan erat dengan pernyataan manajemen. Tujuan audit berkait-transaksi dimaksudkan untuk berfungsi sebagi kerangka kerja bagi auditor dalam mengumpulkan bahan bukti komponen yang cukp dibutuhkan oleh stnadaar pekerjaan lapangan ketiga dan memutuskan bahan bukti yang pantas unutk dikumpulaknsesuai dengan penugasan. Tujuan ini akan tetap sama dari suatu audit ke audit lainnya tetapi bahan buktinya berlainan,  tergantung pada keadaan.
            Enam tujuan audit umum berkait-transaksi sebagi berikut
1.      Eksistensi-transaksi yang tercatat memang eksis, tujuan ini berkenaan dengan apakah transaksi nyang di catat secara aktual memang terjadi. Memasukkan penjualan ke dalam jurnal penjualan diman penjualan tidak terjadi merupakan penyimpangan dari tujuan eksistensi. Tujuan ini merupakan cara auditor unutk memenuhi esersi menejemen mengenai eksistensi atau keterjadian.
2.      Kelengkapan-transaksi-transaksi yang ada telah di catat. Tujuan ini menyangkut apakah seluruh trnsaksi yang seharusnya ada dalam jurnal, secara aktual telah dimasukkan. Kelalaian memasukkan satu penjualan dalam jurnal penjualan dan buku besar sedangkan penjualan tersebut terjadi, merupakan penyimpangan dari tujuan kelengkapan. Tujuan ini merupakan cara auditor untuk memenuhi asersi manajemen mengenai kelengkapan.
3.      Akurasi-transaksi yang tercatat disajikan pada nilai yang benar. Tujuan ini menyangkut keakuratan informasi untuk transaksi akuntansi. Unutk transaksi penjualan, akan merupakan penyimpangan dari tujuan akurasi jika kuantitas barang yang dikirim berbeda dengan kuantitas yang ditagih. Harga jual yang sah dipakai unutk penagihan, terjadi kesalahan perkalian atau penjumlahan dalam penagihan, atau jumlah yang dicantumkan dalam jurnal penjualan. Akurasi adalah satu bagian dari asersi penilaian atau alokasi.
4.      Klasifikasi-transaksi yang dicantumkan dalam jurnaldiklasifikasikan dengan tepat. Contoh salah klasifikasi untuk penjualan antara lain penjualan tunai diklasifikasikan sebagai penjualan kredit, mencatat penjualan aktiva tetap operasi sebagai pendapatan, dan salah mengklasifikasikan penjualan komersial sebagai penjualan intern. Klasifikasi juaga bagian dari asersi penilaian atau alokasi.
5.      Saat pencatatan-transaksi dicatat pada tanggal yang benar. Kesalahan saat pencatatan terjadi jika transaksi tidak catat pada tanggal transaksi terjadi.
6.      Posting pengikhtisaran. Transaksi yang tercatat secara tepat dimasukkan dalam berkas induk dan  diikhtisarkan dengan benar. Tujuan ini menyangkut apakah keakuratan transfer informasi dari transaksi yang tercata dalam jurnal kecatatan tambahan atua buku besar.


TUJUAN AUDIT SPESIFIK BERKAIT-TRANSAKSI
            Tujuan audit umum berikat-transaksi harus diterapkan kesetiap jenis transaksiyang material dalam audit. Biasanya meliputi penjualan, penerimaan kas. Perolehan barang dan jasa, penggajaian dan sebagainya.
ASERSI MANAJEMEN
TUJUAN AUDIT UMUM BERKAIT TRANSAKSI
TUJUAN AUDIT SPESIFIK BERKAIT TRANSAKSI
Eksistensi atau keterjadian
eksistensi
Penjualan yang dicatat adalah untuk pengiriman kepada konsumen yang benar-benar ada
kelengkapan
kelengkapan
Teransaksi penjualan yang ada seluruhnya telah di catat
Penilaian atau alokasi
akurasi
Penjualan yang dicatat adalah sejumlah barang yang dikirim dan ditagioh dan dicatat dengan benar

klasifikasi
Teransaksi penjualan diklasifikasikan dengan tepat

Saat pencatatan
Penjualan dicatat pada tanggal yang benar

Posting dan pengikhtisaran
Transaksi penjualan dicatat dalam buu tambahan dengan benar dan diikhtisarkan dengan benar
Hak dan kewajiban


Penyajian dan pengungkapan



            Tabel ini mengikhtisarkan enam tujuan audit berkait-transaksi. Meliputi tujuan berbentuk umum, penerapan tujuan ketransaksi penjualan dan asersi. Perhatikan bahwa hanya tiga asersi yang berkaitan dengan tujuan audit berkait-transaksi. Ini menunjukkan  bahwa dua asersi tidak dapat dipenuhi dengan melakukan pengujian atasa pengendalian dan pengujian substantif atas transaksi.





TUJUAN AUDIT BERKAIT-SALDO
            Tujuan audit berkait-saldo serupa dengan tujuan audit berkait-transaksi. Tujuan ini juga mengikuti asersi manajemen dan memberikan kerangka kerja untuk membantu auditor mengumpulkan bahan bukti kompeten yang cukup. Tujuan audit ini juga dapat dibagi menjadi tujuan audit berkait-saldo umum dan spesifik. Ada dua perbedaan antara tujuan antara keduanya. Pertama, seperti dilihat dari namanya, tujuan audit berkait0salso diterapkan kepada saldo akun, sementara tujuan audit berkait transaksi diterapkan pada jenis golongan transaksi. Kedua, ada lebih banyak tujuan audit untuk saldo akun dibanding dengan jenis transaksi. Ada sembilan tujuan audit berkait-saldo, yaitu:
1.      Eksistensi, angka-angka yang dicantumkan memang eksis, tujuan ini menyangkut apakah angka-angka yang dimasukkan dalam laporan keuangan memang seharusnyadimasukkan. Pencantuman penjualan dalam jurnal penjualan dan buku besar padahal tidak ada penjualan yang terjadi melanggar tujan eksistensi. Tujuan ini meruoakan cara auditor unutk memenuhi asersi manajeman mengenai keberadaan dan keterjadian.
2.      Kelengkapan, angka-angka yang ada telah dimasukkan seluruhnya. Tujuan ini menyangkut apakah semua angka-angka yang seharusnya dimasukkan memang diikut sertakan secara lengkap. Tujuan ini merupakan cara auditor unutk memenuhi asersi manajemen menganai kelengkapan. Tujuan eksistensi dan kelengkapan menekankan masalah audit yang berlawanan. Eksistensi berkaitan dengan lebih saji yang mungkian terjadi dan kelengkapan berkaitan dengan transaksidan jumalah yang tidak dimasukkan.
3.      Akurasi-jumlah yang ada disajikan pada jumlah yang benar. Tujuan akurasi mengacu kejumlah yang dimasukkan dengan jumlah yang benar.unsur persediaan dalam aftar persediaan dapat menjadi salah karena jumlah unit persediaan yang ada dilebih sajikan.
4.      Klasifikasi-angka-angka yang dimasukkan didaftar klien telah diklasifikasikan dengan tepat. Klasifikasi digunakan untuk menunjukan apakah setiap pos dalam daftar klien telah di masukkan dalam akun yang benar. Klasifikasi juga bagian dari asersi penilaian atau alokasi.
5.      Pisah batas-transaksi-transaksi yang dekat dengan tanggal neraca dicatat dalam periode yang tepat. Tujuan menguji pisah batas adalah untuk memutuskan apakah transaksi telah dicatat dalam periode yang tepat. Transaksi yang mungkin sekali salah saji adalh transaksi yang dicatat mendekati akhir suatu periode akuntansi. Pisah bats juga bagian dari asersi penilaian dan alokasi.
6.      Kecocokan rincian-rincian dalam saldo akun sesuai dengan angka-angka buku besar tambahan, dijumlah kebawah benar dalam saldo akun, dan sesuai dengan jumlah dalam buku besar. Saldo akun dalam laporan keuangan berasal dari dan didukung oleh rincian dalam buku beasar tambahan dan rincian yang dipisahkan oleh klien. Tujuan kecocokan-rincian adalah untuk meyakinkan bahawa rincian dalam daftar memang dibuat dengan akurat, dijumlahkan secara benar dan sesuai dengan buku besar.kecocokan rincian juga merupakan bagian dari asersi penilaian atau alokasi.
7.      Nilai realisasi. Tujuan ini berkaitan dengan apakah satu saldo akuan telah dikurangi unutk penurunan dari biaya historis menjadi niali realisasi. Tujuan ini hanya dapat diterapkan kepada akun aktiva dan juga sebagai bagian dari sersi penilaian atau alokasi.
8.      Hak dan kewajiban. Disamping yang telah dimiliki, kebanyakan aktiva harus dipunyai sebelum dapat diterima untuk dicantumkan dalam lporan keuangan. Demikian pula kewajiban yang harus juga dimilki suatu entitas. Tujuan ini merupakan cara auditor unutk memenuhi aseri manajemen mengenai hak dan kewajiban.
9.      Penyajian dan pengungkapan-saldo akun dan persyaratanpengungkapan yang berkaitan telah disajiakan dengan pantas dalam laploran keuangan. Unutk mencapai tujuan penyajian dan pengungkapan auditor melakukan pengujian untuk meyakinkan bahwa semua akun neraca dan laporan laba rugi serta informasi yang berkaitan telah disajikan dengan benar dalam laporan keuangan yang dijelaskan dengan pantas dalam isi dan catatan kaki laoran itu. Tujuan ini adalah cara auditor untuk memenuhi asersi manajemen mengenai penyajian dan pengungkapan.
Tujuan audit spesifik berkait-saldo bagi setiap saldo akun dalam laporan keuangan dapat dikembangkan. Paling sedikit harus ada satu tujuan audit spesifik berkait saldo bagi setiap tujuan audit umum berkait-saldo, kecuali jika auditor menganggap bahwa tujuan audit umum itu tidak relevan.

HUBUNGAN ANTARA ASERSI MANAJEMEN DAN TUJUAN AUDIT BERKAIT SALDO
ASERSI MANAJEMEN
TUJUAN AUDIT UMUM BERKAIT SALDO
TUJUAN AUDIT SPESIFIK BERKAIT SALDO YANG DITERAPKAN PADA PERSEDIAAN BARANG
Eksistensi atau keterjadian
eksistensi
Semua persediaan yang dicatgat memang terdapat pada tanggal neraca
Kelengkapan
kelengkapan
Semua persediaan yang telah dihitung dan dicantumkan dalam ikhtisar persediaan
Hak dan kewajiban
Hak dan kewajiaban
Perusahaan berhak atas semua persediaan yang tercantum
Persediaan tidak digunakan sebagai jaminan
penilaian atau alokasi
Akurasi
Jumlah persediaan sesuai dengan setiap rincian barang-barang yang secara fisik ada ditangan.
Harga yang digunakan untuk menilai persediaan sudah wajar
Perhitungan harga dikalikan jumlah yang sudah benar dan rincia di tambahkan secara benar

Klasifikasi
Pos-pos persediaan telah diklasifikasikan dengan pantas menurut bahan baku, barang dalam proses, dan barang jadi

Pisah batas
Pisah batas pembelian pada akhir tahun adalah pantas
Pisah batas penjualan pada akhir tahun adalah pantas

Kecocokan rincian
Total persediaan sesuai dengan buku besar

Nilai realisasi
Persediaan telah diturunkan nilainya dimana ada pengurangan  nilai bersih yang direalisasikan
Penyajian dan pengungkapan
Penyajian dan pengungkapan
Kategori utama persediaan dan basis penilaiannya telah diungkapkan
Persediaan yang digadaikan atau diserahkan telah diungkapkan

            Ada 4 tahap mengaudit yaitu:
Tahap I
Merencanakan dan merancang pendekatan audit

Tahap II
Melakukan pengujian pengendalian dan transaksi

Tahap III
Melaksanakan prosedur analitis dan pengujian terinci atas saldo

Tahap IV
Menyelesaikan audit dan menerbitkan laoran audit

MERENCANAKAN DAN MERANCANG PENDEKATAN AUDIT
            Dalam setiap audit, ada bermacam-macam cara yang dapat ditempuh seorang auditor dalam mengumpulkan bahan bukti untuk mencapai tujuan audit secara keseluruhan. Perencanaan dan perancangan pendekatan audit dapat dipisahkan menjadi bebrapa bagian. Dua diantaranya yaitu:
Mendapatkan pengetahuan atas bidang usaha klien. Agar dapat menginterpretasikan dengan benar maksud dari informasi yang diperoleh dalam audit dibutuhkan pemahaman atas usaha dan industri klien. Aspek-aspek yang khas dari jenis usaha yang berbeda-beda akan tercermin dalam laoran keuangan.
Memahami struktur pengandalian intern klien dan menetapkan resiko pengendalian. Jika klien mempunyai struktur pengendalian intern yang baik, resiko pengendalian akan renah danjumlah bahan bukti audit yang harus dikumpulkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jika struktur pengendalian internya tidak memadai.
           
Agar dapat merencanakan pengumpulan bahan bukti audit yang mencukupi standar auditing yang berlaku umum memasyarakatkan auditor unutk memhami struktur pengenadalian intern. Setrelah auditor memahami struktur pengendalian intern klien, dia kan mampu mengevaluasi seberapa efektif pengendalian tersebut dalam mencegah dan menemukan pngendalian spesifik yang mengurangi kemungkinan kekeliruan dan ketidakberesan akan terjadi dan tidak terdeteksi serta tidak diperbaiki dalam waktu yang tepat. Proses ini dikenal sebagai penetapan resiko pengendalian.
            Jika auditor telah menetapkan tinkat resiko pengendalian yang lebih rendah berdasarkan identifikasi pengendalian ia kemuadian dapat memperkecil luas penilaiannya sampai suatu titik dimana ketepatan informasi laporan keuangan yang berkaitan langsung dengan pengendalian itu harus diperiksa keabsahannya melalui pengumpulan bahan bukti.
            Terdapat dua kategori pada prosedur kali ini, yaitu prosedur analitis dan pengujian terinci atas saldo. Prosedur analitis digunakan untuk menetapka kelayakan transaksi dan saldo secara keseluruhan. Pengujian terinci atas saldo adalh prosedur khusus unutk menguji kekliruan moneter dalam saldo-saldo laporan keuangan. Ada hubungan yang erat antara penelahaan umum terhadap lingkungan klien, hasil pemahaman atas struktur pengendalian intern serta penetapan resiko pengendalian dan pengujian terinci atas saldo perkiraan laoran keuangan. Jika auditor telah mempunyai kayakinan yang memadai terhadap kewajaran laoran keuangan melalui pemahaman pengendalian dan prosedur analitis maka pengujian terinci atas saldo dapat dikurangi. Akan tetapi dalam hal apapun juga beberapa pengujian terinci atas saldo akun laoaran keuangan yang signifikan tetap dibutuhkan.
            Setelah auditor menyelesaikan semua prosedur, adalah perlu untuk menggabungkan seluruh informasi yang didapat untuk memperoleh kesimpulan menyeluruh mengenai kewajaran penyajian laoran keuangan. Ini merupakan proses yang sangat subyektif dan sangat tergantung pada pertimbangan profesional auditor. Dalam prakteknya auditor secara berkesinambungan menggabungkan informasi yang didapat selama dia melaksanakan audit. Penggabunagn akhir hanyalah menyatukan dari penggabungan-penggabungan tadi pada saat penyelasaian penugasan. Jika audit telah diselesaikan, kantor akuntan publik harus mengeluarkan laporan audit yang menyertai laporan keuangan klien yang diterbitkan. Laporan itu harus memenuhi persyaratan teknis yang jelas yang dipengaruhi oleh ruang lingkup audit dan sifat temuan auditor.